Jadwal Sholat :

Minimnya Qurban di Pinggiran Wonogiri, Lazis Safara Adakan Program Qurban Pelosok

Bentangan asa

 

Di balik perbukitan tandus di pinggiran Wonogiri, tersembunyi kehidupan yang jauh dari riuhnya keramaian dan sorotan. Di rumah-rumah sederhana yang sebagian besarnya berdinding anyaman bambu itu, kita akan mendapati kehidupan yang amatlah sederhana, menu harian bukan lagi tentang variasi, melainkan apa yang ada, nasi dari beras seadanya, kadang dengan lauk hanya dari hasil kebun atau sisa masakan kemarin. Daging adalah suatu kemewahan, bahkan telur pun lebih sering dijual demi uang sekolah anak. 

Petani ladang menjadi mata pencaharian mereka–mengandalkan sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami sekali setahun, yang ketika  kemarau datang lebih panjang, maka ladang menjadi padang gersang kosong, yang berarti tak ada pendapatan darisana. Laki-laki dewasa kadang harus merantau ke luar kota sebagai buruh bangunan atau penebang kayu. Sementara para ibu-ibu mengasuh anak-anak, mengurus ternak seadanya, dan menjaga sisa harapan dari rumah.

Kesenjangan semakin terasa setiap kali Idul Qurban. Di kota, gema takbir diiringi lalu lalang kendaraan yang membawa sapi dan kambing, daging-daging begitu berlimpah hingga tak tahu lagi harus disalurkan kemana. Sedangkan di pelosok Wonogiri, takbir hanya diiringi doa yang pilu dengan senyum getir melihat apa yang di hadapan mereka, yakni seekor dua ekor kambing yang terikat di batang pohon kelapa, di sudut halaman masjid yang akan dibagikan untuk sekian banyak KK, karena hanya itulah yang diqurbankan. Dagingnya dipotong amat kecil, dibagikan rata per rumah yang tak akan cukup untuk kenyang, hanya untuk sekadar meratakan syukur atas hari raya.

Dan kini di tahun ini, kondisi ekonomi menjadi lebih sulit, harga kebutuhan pokok melonjak, upah harian tak mencukupi, peluang kerja makin sempit. Ekonomi sedang tidak baik-baik saja—bagi mereka yang selama ini sudah sulit, kini makin terseok. Maka di tengah krisis, bentangan jurang harapan untuk menikmati qurban yang  layak itu, menjadi semakin jauh dari angan mereka. 

Berdasarkan data BPS Wonogiri tahun 2024, 10,71% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan. Namun angka itu belum sepenuhnya mencerminkan perjuangan hidup mereka. Garis kemiskinan rata-rata di wilayah ini mencapai Rp443.563 per kapita per bulan.

Salah satu daerah yang menjadi perhatian adalah wilayah pelosok Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di kecamatan-kecamatan seperti Paranggupito, Pracimantoro, Giritontro, Tirtomoyo, dan Karangtengah, Giritontro—terutama di desa-desa perbukitan dan lereng pegunungan.

Qurban Pelosok– Lazis Safara hadir sebagai jawaban atas panggilan nurani, bahwa ibadah qurban bukan hanya tentang penyembelihan, namun tentang menyambung rasa kemanusiaan, mengantarkan asa ke desa-desa yang selama ini luput dari perhatian. Kami ingin bukan sekadar menyalurkan hewan qurban, namun menghadirkan harapan dan kebahagiaan bahwa mereka tidak sendiri, bahwa mereka tidak dilupakan oleh saudara-saudara sesama mukminnya.

Di salah satu kunjungan relawan kami, ada seorang janda sepuh bernama Mbah Miratin yang hanya tinggal sebatang kara, beliau hanya dua kali merasakan daging qurban. “Rasane seneng tenan le, matursuwun sanget…,” tuturnya sambil menahan haru.  

Cerita Mbah Miratin tentu bukan satu-satunya. Di desa perbatasan, relawan kami melihat sendiri bagaimana anak-anak menggenggam bungkusan kecil daging itu seperti memegang emas. Mereka tertawa bahagia, bukan karena banyaknya, tapi karena merasa dianggap. Mereka tidak dilupakan.

Maka kami ingin Iduladha menjadi milik semua orang—tak hanya mereka yang tinggal di kota, tetapi juga mereka yang tinggal di tepi-tepi desa, tentu ini hanya akan terwujud bersama dukungan anda sekalian.

 

Share :

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *